MANAJEMEN RISIKO BANK SYARIAH KELOMPOK 9
“Analisis
Kebijakan dan Prosedur Risiko Pembiayaan pada Bank Syariah Mandiri”
Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Manajemen Pembiayaan
Dosen Pengampu : Gita Danupranata, S.E., M.M
Disusun
oleh :
1.
Apri Sanjaya (20130730383)
2.
Ahmad Hizbul Syauqi Al-Banna (20140730008)
3.
Trisna Destini Amira (20140730009)
4.
Muhammad Zainal Abidin (20140730017)
5.
Imelda (20140730030)
EKONOMI
DAN PERBANKAN ISLAM
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017/2018
PRINSIP
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO OLEH BANK SYARIAH MANDIRI
Bank Syariah Mandiri menerapkan
manajemen risiko secara terintegrasi dengan mengedepankan prinsip
kehati-hatian. Hal tersebut bertujuan untuk mencapai pertumbuhan yang sehat dan
berkelanjutan, serta mengoptimalkan tingkat risk-adjusted return. Bank
mengelola risiko-risiko melalui proses identifikasi, pengukuran, pemantauan
dan pengendalian risiko yang berdampak terhadap bisnis, operasional, dan
organisasi. Dalam mendukung penerapan manajemen risiko, BSM telah menyusun
kebijakan, proses, kompetensi, akuntabilitas, pelaporan dan teknologi
pendukung.
Dalam mengimplementasikan tata kelola risiko, BSM
mengimplementasikan Enterprise Risk Management (ERM) dalam pendekatannya.
Penerapan ERM akan memberikan nilai tambah (value added) bagi Bank dan
stakeholders terutama dikaitkan dengan penilaian kinerja berbasis risiko (Risk
Base Performance). Bank mengimplementasi ERM melalui dua pendekatan (two prong
approach) yaitu pengelolaan risiko melalui permodalan dan pengelolaan
risiko melalui aktifitas operasional, agar Bank mampu mengelola risiko yang
melekat dalam kegiatan bisnisnya. Empat komponen utama dalam mendukung
penerapan two prong approach ini adalah Organisasi & Sumber Daya
Manusia, Kebijakan & Prosedur, metodologi Model & Analytics dan yang
terakhir adalah Sistem & Data. Penerapan ERM diharapkan mampu
meningkatkan kinerja BSM sehingga menghasilkan added value bagi stakeholder. Dalam mengelolah manajamen resiko tersebut
BSM melakukan hal-hal berikut:
1. Organisasi
dan Sumber Daya Manusia
Organisasi manajemen risiko di BSM merupakan organ yang dibentuk
untuk mendukung dan memfasilitasi penerapan manajemen risiko pada seluruh lini
perusahaan. Organisasi tersebut terdiri atas:
v Komite Pemantau Risiko
Bank membentuk Komite Pemantau Risiko (KPR) yang bertugas
memberikan rekomendasi usulan perbaikan strartegi dan penerapan manajemen
risiko kepada Dewan Komisaris.
v Komite Manajemen Risiko
Komite Manajemen Risiko (KMR) berfungsi memberi rekomendasi
mengenai arah kebijakan serta strategi manajemen risiko, serta membahas seluruh
aspek risiko yang dihadapi Bank. KMR beranggotakan Direksi dan pejabat
eksekutif. KMR dibantu oleh Working Group (WG) yang terdiri atas WG Asset
Liabilities Management (ALMA) & Pembiayaan dan WG Operasional. WG bertugas
melakukan kajian risiko dan memberikan rekomendasi terkait kondisi usaha yang
dihadapi Bank. Komite Manajemen Risiko (KMR) berfungsi memberi rekomendasi
mengenai arah kebijakan serta strategi manajemen risiko, serta membahas seluruh
aspek risiko yang dihadapi Bank. KMR beranggotakan Direksi dan pejabat
eksekutif. KMR dibantu oleh Working Group (WG) yang terdiri atas WG Asset
Liabilities Management (ALMA) & Pembiayaan dan WG Operasional. WG bertugas
melakukan kajian risiko dan memberikan rekomendasi terkait kondisi usaha yang
dihadapi Bank.
v Direktur Manajemen Risiko
v Satuan Kerja Manajemen Risiko
Satuan Kerja Manajemen Risiko (SKMR) merupakan unit kerja yang
memiliki tanggung jawab secara langsung kepada Direktur Manajemen Risiko. Bank
terus melakukan evaluasi terhadap struktur organisasi dan proses bisnis agar
penerapan manajemen risiko dapat mendukung perkembangan bisnis Bank.
2. Kebijakan,
Prosedur, Limit, dan Tools
a. Kebijakan dan Prosedur
Dalam rangka
penerapan Good Corporate Governance (GCG) dan Manajemen Risiko, Bank melakukan
enataan struktur ketentuan melalui pembuatan Arsitektur Kebijakan dan Prosedur
BSM. Arsitektur. Kebijakan dan prosedur di BSM merupakan bentuk Manajemen Risiko
atau pengelolaan risiko yang melekat pada aktivitas operasional Bank yang
di-review secara berkala. BSM memiliki Kebijakan Manajemen Risiko sebagai
pedoman utama penerapan manajemen risiko. Sedangkan untuk aktivitas operasional
lainnya, Bank memiliki kebijakan dan prosedur tersendiri seperti kebijakan di
bidang pembiayaan, operasional, dan tresuri.
Pada tahun 2013
Bank melakukan pembaruan kebijakan, prosedur dan tools terkait penerapan
manajemen risiko antara lain:
1.
Kebijakan
sistem pengendalian intern
2.
Kebijakan
kepatuhan
3.
Contingency
plan Core Banking System (CBS)
4.
Kerahasiaan
data nasabah terkait permintaan data dari pihak ketiga
5.
Pengelolaan
priority banking;
6.
Pelaksanaan
Good Corporate Governance
b. Penetapan Limit dan Tools
Dalam upaya
mengelola risiko secara menyeluruh dan agar pengelolaan risiko sesuai dengan
permodalan yang dimiliki, Bank menetapkan limit dan tool sebagai berikut:
A.
Limit wewenang
memutus pembiayaan;
B.
Limit eksposur
25 debitur terbesar;
C.
Limit in house
BMPK;
D.
Limit
portofolio pembiayaan untuk sektor ekonomi & sub sektor tertentu;
E.
Limit
portofolio pembiayaan valuta asing;
F.
Limit Produk
Pembiayaan;
G.
Limit
penjaminan;
H.
Limit transaksi
tresuri;
I.
Limit saldo
kas;
J.
Limit transaksi
operasional;
K.
Limit Giro
Wajib Minimum;
L.
Limit Posisi
Devisa Neto (PDN);
M.
Limit secondary
reserve.
N.
Limit pembiayaan
gadai emas per individu.
O.
Rating sektor
ekonomi untuk pembiayaan;
P.
Credit scoring
pembiayaan konsumer, mikro, dan kecil.
Q.
Rating
Korporasi
3. Sistem dan
Data
BSM mengembangkan dan mengelola sistem manajemen risiko untuk
mempercepat proses bisnis yang lebih efisien namun tetap berpegang pada prinsip
kehati-hatian. BSM mengimplementasikan Sistem Informasi Manajemen Risiko
(SIMRIS) dan Operational Risk Management Information System (ORMIS)
4.
Metodologi/Model dan Analisis
BSM melakukan pengukuran risiko secara berkala dengan menerapkan
metode, baik yang ditetapkan Regulator maupun international best practices.
Hasil pengukuran model-model risiko yang dikembangkan digunakan sebagai bahan
pendukung dalam pengambilan keputusan. Model risiko yang telah dikembangkan
melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif yaitu scoring pembiayaan, model
Value at Risk (VaR), rating, portofolio management, stress test, liquidity gap
dan repricing gap.
Model-model risiko tersebut dievaluasi dan dikalibrasi secara
periodik oleh risk model validator yang bersifat independen. Hal tersebut
bertujuan untuk menjaga validitas dan keandalan model, serta memenuhi peraturan
regulasi.
Dalam Mengidentifikasi, Jika Dilihat
Berdasarjan 5C:
1.
CHARACTER
Dimana menilai
kepribadian calon debitur dengan cara melihat langsung kehidupan sehari-hari
calon debitur untuk mengetahui dan memperoleh gambaran yang jelas tentang watak
calon debitur ini, dapat dilakukan usaha-usaha seperti: melakukan interview
langsung terhadap calon debitur, meneliti daftar riwayat hidupnya, mengetehaui
reputasi calon debitur berdasarkan informasi dari “lingkungan“ usahanya, serta
meneliti kegiatan dan pengalaman-pengalaman usahanya. Disaat nasabah akan mengajukan pembiayaan.
Dengan cara seperti ini, kita bisa melihat gerak-gerik dari nasabah, meyakinkan
atau tidak.
2.
CAPITAL
Modal yang dimaksudkan disini adalah modal sendiri (networth) atau
nilai kekayaan bersih yang dimiliki perusahan, yang merupakan selisih antara
total akitva dengan total kewajiban. Semakin besar modal yang dimiliki
perusahaan merupakan cerminan keberhasilan perusahaan di masa lalu dan hal
tersebut tentunya semakin baik dihadapan bank. Posisi modal suatu perusahaan dapat
di analisis dari laporan keuangannya. Untuk mendapatkan gambaran yang lengkap
tentang modal perusahaan, maka bank harus melakukan analisis terhadap laporan
keuangan perusahaan selama paling tidak tiga tahun periode akuntansi
sebelumnya. Dalam menilai apakan usaha tersebut mengalami keuntungan secara terus
menerus, sehingga nantinya ketika mengajukan pembiayaan di khawatirkan akan
terjadinya wanprestasi.
3.
CAPACITY
Bank harus mengetahui bagaimana kemampuan
nasabah dalam menjalankan
usaha. Kemampuan ini sangat penting karena kemampuan inilah yang menetukan
besar kecilnya pendapatan suatu perusahaan di masa yang akan datang. Serta kita bisa mengetahui kemampuan nasabah
dalam mengembalikan pinjaman yang diambil nantinya. Kita bisa menilai kemampuan
nasabah tersebut, dengan beberapa hal, diantaranya:
A.
Proyeksi Arus
Kas
B.
Proyeksi
Laporan Keuangan
C.
Kemampuan
Manajemen
D.
Kemampuan
Pemasaran
E.
Kewajiban-kewajiban
pada Pihak Lainnya
4.
CONDITION
Keadaan usaha atau prospek usaha nasabah
tersebut, bisa menguntungkan atu tidak baik dalam jangka waktu pendek ataupun
panjang.
5.
COLLATERAL
Bank tidak bisa memberikan pembiayaan melebihi dari nilai
jaminan/agunan yang dijaminkan oleh debitur. Manfaat jaminan ini bagi bank
adalah sangat penting, sebagai “back up“ atas kredit yang diberikan kepada
debitur. Dengan tujuannya adalah agar bank dapat memperoleh pelunasan kembali atas
kredit yang diberikan kepada debitur, apabila kelak debitur tidak mampu
melunasi kreditnya ataupun ingkar.
Studi Kasus dan Analisis
Nama: Bapak R. Choiril
Pekerjaan: wiraswasta
Pada tahun 2008 Bapak R. Choiril mengajuakan
pembiayaan murabahah pada pihak Bank Syariah Mandiri Dengan plafon
Rp.35.000.000, tenor 36 bulan dan margin 1,2% perbulan, dengan angsuran
perbulan yang dibayarkan sebesar Rp.1.212.700, dana yang diberikan oleh pihak
bank kepada Bapak R. Choiril digunakan oleh beliau untuk penambahan modal usaha
sembakonya, pada tahun 2010 usaha Bapak R. Choiril semakin terpuruk karena
adanya persaingan dagang, di tambah lagi maraknyamini market yang menjamur.
Maka kualitas pembayaran Bapak R. Choiril kepada pihak mengalami penurunanan,
maka pihak bank menganggap bahwa Bapak Choiril sebagai debitur yang wanprestasi.
Penyelesain pihak bank kepada Bapak R. Choiril
dengan Restrukturisasi Pembiayaan murabahahnya dengan penjadwalan kembali
(Rescheduling) yang tadinya lama pembiayaan/tenornya dari 36 bulam menjadi 48 bulan, sementara itu angsuran yg semula Rp.1.212.700 menjadi
Rp.909.600.
Analisis :
Dari kasus diatas dapat di analisis bahwa beliau terindikasi
sebagai debitur yang wanprestasi dikarenakan kualitas pembayarannya yang
menurun, akibat persaingan dagang yang semakin meningkat. Usaha yang dilakukan
bank untuk mengatasi pembiayan permasalah adalah dengan cara yang sesuai
prosedur yang ditetapkan.
Jika dianalisis lebih lanjut menggunakan 5c, pada kasus ini
terindikasi bahwa :
1.
Dilihat dari
capacity nya bahwa si nasabah tidak bisa mengelola modalnya dengan baik
sehingga terjadiya condition of economy. Yang
mana nasabah tidak bisa membayar pembiayaan lebih lanjut, karena tidak mendapat
keuntungan dari mengelolah usahanya, yang mana usahanya tidak bisa bersaing
dengan usaha lain. Bank juga tidak melihat beberapa unsur, sesuai dengan prosedur yang sudah
kami jelaskan di atas seperti:
A.
Proyeksi Arus
Kas
B.
Proyeksi
Laporan Keuangan
C.
Kemampuan
Manajemen
D.
Kemampuan
Pemasaran
E.
Kewajiban-kewajiban
pada Pihak Lainnya
2. Kedua bisa dilihat dari collectral, kemungkinan bank tidak
menganalisis jaminan dengan baik, sehingga jaminannya tidak bisa menutupi
pembiayaannya. Bahkan kemungkinan jaminan tidak di perhitungkan dalam pembiayan ini.
Sehingga manfaat serta tujuan dari jaminan tidak bisa terpenuhi oleh pihak
bank, dimana saat nasabah tidak bisa membayar lagi pembiayaanya, bank tidak
bisa memanfaatkan jaminannya.
Jika dilihat dari segi penyelesaiannya, bahwa
BSM tidak melakukan Pemantauan secara intesif sesuai dengan prosuder
yang ada, sehingga terjadilah yang namanya pembiayaan bermasalah. Dimana jika bank selalu memantau usahanya,
kecil kemungkinan akan terjadinya wanprestasi. Dan bank juga bisa melakukan resheduling, disaat
nasabah sudah tidak mampu lagi melakukan pembayaran,kita bisa memberikan grace
period baik termasuk besarnya jumlah angsuran, dimana pengurangan jumlah
angsuran perbulannya, sehingga nasabah tadi bisa mampu lagi dalam melanjutkan
pembayarannya, serta bank bisa memberikan batas waktu dalam rescheduling ini
1-2 tahun.